Hadits ini dha’if. Ia diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan- nya I/261, Imam Ahmad III/21, Baghawi dalam hadits Ali bin Ja’d IX /93, dan Ibnu Sunni (hadits nomor 83), dari sanad Fudhail bin Marzuq.
Lemahnya sanad riwayat tersebut dari dua hal:
1. Fudhail bin Marzuq dinyatakan kuat oleh sekelompok ulama, tetapi sekelompok lain menganggapnya lemah. Dan tidak benar tuduhan orang bahwa yang menyatakan Fudhail lemah hanya Abu Hatim saja, sebab masih banyak lagi sederetan pakar hadits yang menganggapnya lemah. Ketika ditanya tentang Fudhail apakah dapat dijadikan hujjah, Nasa’i menjawab, “Tidak, ia lemah.” Al-Hakim juga mengatakan, “Fudha’il tidak memenuhi syarat kesahihan.” Selain mereka adalah Ibnu Hibban yang dalam menyatakan perawi-perawi kuat mengatakan, “Fudhail banyak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan.” Ringkasnya, kecaman terhadap Fudhail lebih didahulukan daripada yang menguatkannya.
2. Di samping itu, Fudhail meriwayatkannya dari Athiyyah al-Aufi yang juga dinyatakan lemah oleh pakar hadits. Demikianlah yang diungkapkan oleh para huffazh. Dengan demikian, seperti yang masyhur dalam ilmu Mushthalah Hadits, jarh (kecaman) lebih didahulukan (diutamakan) ketimbang ta’dil (pengakuan baik). Di samping itu, tentang penguatan dha’ifnya Ibnu Shalah ini datang dari banyak ulama tsiqah (dapat dipercaya), seperti Ibnu Adi dan lain-lainnya. Bahkan Ibnu Yunus mengatakan, “Banyak diriwayatkan darinya hadits-hadits munkar.” Daru Quthni mengatakan, “Ia (Ibnu Shalah) itu lemah dalam meriwayatkan hadits.”