Hadits ini maudhu’ dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Hazem dari sanad Abi Syihab al-Hanath dari Hamzah al-Jazri. Kemudian Ibnu Abdil Bar berkata, “Sanad hadits ini tidak sahih dan tidak ada satu pun perawinya yang meriwayatkan dari Nafi yang dapat dijadikan hujjah.
Hamzah ini adalah Ibnu Abi Hamzah yang oleh Daru Quthni dinyatakan ditinggallkan riwayatnya. Kemudian Ibnul Adi menyatakan bahwa semua riwayatnya adalah maudhu.
Ibnu Hibban berkata, “Ia selalu menyalahi perawi-perawi tsiqah (kuat; dipercaya) seolah-olah ia sengaja meriwayatkan hadits-hadits maudhu’. Karena itu, tidak sah meriwayatkan darinya.”
Ibnu Hazem dalam al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam berkata, “Telah nyata bahwa riwayat ini tidak benar, bahkan tidak ragu lagi merupakan riwayat palsu sebab Allah telah menyatakan mengenai sifat nabi-Nya bahwa apa yang diucapkannya bukan menurut hawa nafsunya, tetapi firman yang diwahyukan kepadanya (an-Najm: 3-4).”
Bila telah terbukti bahwa segala yang diucapkannya adalah syariat yang hak, berarti semuanya dari Allah. Karenanya, tidak akan bertentangan dengan apa yang difirmankan-Nya surat an-Nisa’: 82.
Allah SWT telah melarang keras berselisih seperti dalam firman-Nya, “Walaa tanaaza’u.” (al-Anfal: 46). Karena itu, merupakan sesuatu yang mustahil bila Rasululah saw memerintahkan mengikut setiap yang dilakukan dan diucapkan oleh setiap sahabat, padahal di antaranya ada yang menghalalkan sesuatu sedang yang lain mengharamkannya. Bila itu dibenarkan, berarti menjual khamr itu halal karena mengikuti Samurah bin Jundub, sementara sahabat yang lain menyatakan haram.
Lebih lanjut Ibnu Hazem menyatakan, “Sebenarnya apa yang wajib bagi kita hanyalah mengikuti apa yang ada dalam Al-Qur’an yang telah disyariatkan bagi kita dan apa yang datang dengan sahih dari Rasulullah saw yang Allah perintahkan untuk menjelaskan perihal agama atau syariat.”
la mengakhiri pernyataannya dengan berkata bahwa hadits tersebut adalah kabar dusta, maudhu’ yang tak ada kesahihannya sama sekali.