Ini hadits maudhu’ yang telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.
Ada kemusykilan dalam riwayat ini. Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh.
Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, “Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadits maudhu’.” Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.
Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadits tersebut sebagai hadits maudhu’, sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya.
Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadits itu.
Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim.
Menurut saya, hadits tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, “Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat
lemah.”
Sungguh pernyataan ai-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu’ dan dha’if dengan penyelidikan yang terperinci, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah saw.
Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya.